Informasi kesehatan hewan kesayangan seperti anjing dan kucing, serta berbagai hewan ternak meliputi sapi, kambing, domba, ayam dan lainnya. Berbagai teknologi pemberian pakan untuk kesehatan hewan ternak juga dibahas dalam website ini.
Di beberapa wilayah, membuka usaha peternakan babi dapat menjadi sebuah hal yang sangat menguntungkan. Selain karena perkembangbiakan yang cepat, babi termasuk ke dalam hewan ternak yang mudah untuk dipelihara. Tentunya, dengan memperhatikan berbagai aspek yang terkait dengan kesehatannya. Seperti manajemen pemberian pakan, manajemen perkandangan, dan manajemen kesehatannya.
Namun, bukan menjalani sebuah usaha namanya jika tidak ada kendala. Salah satu kendala yang paling umum dijumpai pada usaha peternakan babi ada pada pengendalian penyakitnya, hal ini tentunya masuk ke dalam manajemen kesehatannya.
Penyakit pada babi dapat terjadi karena berbagai hal, seperti agen infeksi seperti bakteri, virus, dan parasit. Selain itu, juga bisa terjadi karena insiden yang mengakibatkan trauma pada tubuh.
Salah satu penyakit yang menyerang babi dan akan menjadi pokok bahasan pada artikel ini adalah penyakit African Swine Fever (ASF). Di mana, penyakit ini disebabkan oleh virus. Meskipun African Swine Fever (ASF) bukan termasuk ke dalam penyakit zoonosis (non zoonosis), pengendalian penyakit ASF sangat penting untuk dilakukan, mengingat penyakit ini sangat mudah menular dari babi satu ke babi lainnya.
African swine fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus.
Virus ini menyebabkan demam berdarah dengan tingkat kematian yang tinggi pada babi domestik dan babi liar. African swine fever (ASF) pertama kali dilaporkan di Kenya pada tahun 1920 (Montgomery 1921) dan saat ini ASF telah menyebar ke Asia termasuk Indonesia (Sendow et al, 2020).
ASF disebabkan oleh virus ASF (ASFV) yang teridentifikasi sebagai DNA virus dan digolongkan dalam family Asfarviridae sebagai satu-satunya anggota (Cappai et al, 2018; Sánchez-Cordón et al, 2018).
Virus ASF bereplikasi di sitoplasma, dan memproduksi 150-165 protein guna replikasinya dan menghambat tanggap kebal inang. Hasil sequencing DNA virus mengungkap ada 23 genotip ASFV (Winarso et al, 2019).
Virus ASF sangat tahan terhadap perlakuan fisik seperti beku cair, ultrasonografi dan suhu rendah, namun dengan pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C selama 30 menit, virus ini akan inaktif. Penyimpanan virus ASF pada suhu -80°C dapat bertahan selama bertahun-tahun, sedangkan pada suhu -20°C bertahan hingga 65 minggu.
Virus ini juga tahan terhadap beberapa bahan kimia seperti tripsin dan EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid) (Sendow et al, 2020). Perlu diketahui, bahwa virus ASF dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama dalam darah, feses, jaringan, dan produk daging babi mentah atau kurang matang.
B. Gejala Klinis African Swine Fever (ASF)
Manifestasi infeksi ASF menghasilkan 4 bentuk gejala klinis seperti perakut, akut, subakut dan kronis, tergantung dari virulensi strain yang menginfeksi,strain babi dan status kekebalan (Sanchez-Vizcano et al, 2015).
Umumnya, babi liar seperti babi hutan lebih rentan terhadap infeksi ASF dan tidak menimbulkan gejala klinis yang khas, namun dapat bertindak sebagai karier virus ASF (Cabezón et al, 2017 dalam Sendow et al, 2020).
Pada kasus wabah ASF pertama di Tanzania, gejala klinis yang muncul antara lain demam tinggi, depresi, ketidakseimbangan, mukosa pucat, pendarahan, lesi eritematosa di berbagai bagian tubuh dan abortus. Beberapa organ dalam termasuk ginjal, limpa, dan hati padat dan edematous dengan mortalitas mencapai 100% (Kipanyula & Nong Ona. 2016 dalam Sendow et al, 2020).
Berikut adalah variasi gejala klinis pada babi yang terserang ASF :
Demam mencapai 40,5–42°C
Anoreksia
Lesu
Sianosis
Inkoordinasi
Peningkatan nadi dan laju pernapasan
Serta Erithrema pada sekitar telinga dan badan babi
C. Cara Penularan African Swine Fever (ASF)
D. Diagnosa African Swine Fever (ASF)
Diagnosis penyakit African Swine Fever (ASF) dapat dilakukan dengan pengamatan gejala klinis, pengamatan epidemiologi penyakit, dan pemeriksaan laboratorium, baik pemeriksaan dengan uji serologis, virologis, maupun pemeriksaan post mortem. Sendow et al, (2020), menyebutkan bahwa uji virologis yang cepat dan akurat sangat diperlukan untuk penanganan infeksi ASF.
E. Diagnosa Banding African Swine Fever (ASF)
Penyakit ASF sering dikelirukan dengan penyakit lainnya seperti Classical Swine Fever (Hog Cholera), Pig Respiratory and Reproductive Syndrome (PRRS), Erysipelas, Salmonellosis, Aujeszky (atau pseudorabies) terutama pada babi yang lebih muda, Pasteurellosis dan penyakit babi yang menyebabkan septikemia lainnya.
Gejala penyakit Hog Cholera di lapang sering mirip dengan penyakit ASF, sehingga pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan untuk membedakan dengan penyakit tersebut (Sanchez-Vizcano et al, 2015 dalam Sendow et al, 2020).
F. Kejadian African Swine Fever (ASF) di Indonesia
Keterangan Gambar : Asian countries with confirmed HP-PRRSV (2006–2011) and ASFV (2018–2019) outbreaks. A number in circle represent chronological order of the first identification of HP-PRRSV (a) and ASFV (b) (Kedkovid et al, 2020)
Indonesia masih dinyatakan bebas ASF hingga bulan September 2019, namun pada bulan Oktober 2019 dilaporkan banyak kematian pada babi di Sumatera Utara. Investigasi telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) dan telah berhasil mendeteksi virus ASF menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR). Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 820/KPTS/PK.320?M/12/2019 mengumumkan bahwa infeksi ASF telah berada di Sumatera Utara. (Sendow et al, 2020)
Sendow et al, (2020) menyebutkan bahwa jalur masuknya ASF seperti dilaporkan di Uni Eropa, terutama melalui truk pengangkut babi, swill feeding dari pesawat dan kapal laut (Mur et al, 2012), meskipun faktor lainnya seperti wisatawan, pengungsi dan pekerja asing dapat berperan (Satran et al, 2017).
Beberapa kemungkinan ASF masuk ke Indonesia diantaranya melalui swill feeding dari pesawat asal negara tertular atau dari barang tentengan/sitaan penumpang yang tidak habis dimakan yang telah tercemar ASF dan dimanfaatkan oleh peternak sebagai pakan babi karena harganya relatif sangat murah dibandingkan pakan komersial seperti telah dijelaskan sebelumnya.
G. Pengendalian African Swine Fever (ASF) di Indonesia
Saat ini, pengobatan dan pencegahan penyakit ASF melalui vaksinasi belum tersedia. Sebelumnya, vaksin ASF telah dikembangkan baik secara konvensional maupun secara molekuler, namun tidak memberikan hasil yang efektif.
Sendow et al, (2020) menyebutkan bahwa bagi negara yang masih dinyatakan bebas ASF, maka beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain peningkatan karantina dan biosekuriti yang ketat, membatasi lalu lintas babi dan pengurangan populasi ternak babi yang sakit dan terpapar.
H. Kesimpulan
Pada dasarnya, African swine fever (ASF) atau dikenal dengan demam babi Afrika merupakan penyakit infeksius pada babi bersifat hemoragik yang disebabkan oleh virus DNA beruntai ganda, dalam family Asfarviridae dan genus Asfivirus.
Virus ASF sangat tahan terhadap perlakuan fisik seperti beku cair, ultrasonografi dan suhu rendah, namun dengan pemanasan 56°C selama 70 menit dan 90°C selama 30 menit, virus ini akan inaktif. Perlu diketahui, bahwa virus ASF dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama dalam darah, feses, jaringan, dan produk daging babi mentah atau kurang matang.
Indonesia masih dinyatakan bebas ASF hingga bulan September 2019, namun pada bulan Oktober 2019 dilaporkan banyak kematian pada babi di Sumatera Utara. Investigasi telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Veteriner (BBLitvet) dan telah berhasil mendeteksi virus ASF menggunakan PCR.
Saat ini, pengobatan dan pencegahan penyakit ASF melalui vaksinasi belum tersedia. Sebelumnya, vaksin ASF telah dikembangkan baik secara konvensional maupun secara molekuler, namun tidak memberikan hasil yang efektif.
Daftar Pustaka :
Bosch, J., Barasona, J.A., Cadenas-Fernandez, E., Jurado, C., Pintore, A., Denurra, D., Cherchi,
M., Vicente, J. and Sanchez-Vizcaino, J.M., 2020. Retrospective spatial analysis for African swine fever in endemic areas to assess interactions between susceptible host populations. PloS one, 15(5), p.e0233473.
Kedkovid, R., Sirisereewan, C. and Thanawongnuwech, R., 2020. Major swine viral diseases: an Asian perspective after the African swine fever introduction. Porcine Health Management, 6(1), pp.1-11.
Sendow, I., Ratnawati, A., Dharmayanti, N.L.P.I. and Saepulloh, M., 2020. African Swine Fever: Penyakit Emerging yang Mengancam Peternakan Babi di Dunia. WARTAZOA. Indonesian Bulletin of Animal and Veterinary Sciences, 30(1), pp.15-24.
Winarso, A., Hartanto, N. and Rofi’ah, S., 2019. Ancaman African Swine Fever Masuk Ke Wilayah Indonesia Melalui Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kajian Veteriner, pp.21-26.
Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter Hewan Universitas Airlangga. Berusaha memberikan pelayanan Kesehatan Hewan dengan Fokus pada Pencegahan dan Perawatan secara Holistik.